LangkatTerkini.Com – Program makan bergizi gratis (MBG) secara bertahap akan dilaksanakan pada awal tahun 2025. Pemerintah mulai bersiap-siap.
“Dimana komposisi makanan dalam program tersebut sejauh ini menimbulkan pertanyaan, apakah akan memicu terjadinya defisit produksi karena kebutuhannya meningkat? Terutama untuk komponen lauk yang menjadi tolak ukur gizi makan bergizi gratis tersebut,” kata Ekonom dari Universitas Islam Sumatera Utara (UISU), Gunawan Benjamin di akhir tahun 2024.
Benjamin mengungkapkan, menjadi permasalahan muncul, karena tidak semua provinsi mampu menyediakan secara mandiri pasokan lauknya. Seperti DKI Jakarta yang jelas-jelas membutuhkan wilayah produsen sebagai penyangga kebutuhan pangannya.
Kata Benjamin, sehingga setiap provinsi akan berhadapan dengan ragam masalah yang berbeda.
Namun, Benjamin menilai kebutuhan lauk untuk program makan bergizi gratis akan mampu dipenuhi nantinya. Potensi defisit produksi bisa diatasi dalam waktu yang singkat.
“Sebagai ilustrasi, jika seandainya makanan bergizi gratis komponen lauk semuanya dari daging ayam. Dan kita mengambil provinsi Sumatera Utara sebagai sampel, dengan jumlah pelajar SD 1.56 juta. Maka dibutuhkan sekitar 2.86 juta ekor hingga 4.87 juta ekor setiap bulannya,” papar Benjamin.
Benjamin menambahkan dasar perhitungannya tersebut, sangat bergantung dengan sejumlah asumsi seperti penyajian (potongan) daging ayam, daging ayam digunakan sebagai lauk setiap hari, hingga jumlah hari efektif belajar setiap bulan (22 hingga 25 hari) serta sejumlah asumsi dasar lainnya.
“Asumsi tersebut sudah pasti tidak akan sepenuhnya seperti itu di tahapan pelaksanaan. Asumsi lauk daging ayam setiap hari hampir mustahil dilakukan. Karena siswa juga punya titik jenuh mengkonsumsi lauk yang sama setiap harinya. Jadi kebutuhan akan daging ayam itu nantinya juga akan fleksibel di tatanan pelaksanaan,” kata Benjamin.
Akan tetapi, secara keseluruhan Benjamin yakin pasokan kebutuhan akan lauk tetap bisa disediakan. Untuk daging ayam tidak akan memicu terjadinya defisit produksi.
“Kalau berbicara Sumut, kebutuhan daging ayam seiring dijalankan program MBG, itu hanya sekitar 25% dari total produksi peternak ayam mandiri setiap bulan. Dan peningkatan kapasitas produksi peternak plasma juga mampu mengatasinya,” lanjut Benjamin.
Benjamin menggaris bawahi agar pemerintah berhati-hati dalam menetapkan telur sebagai komponen lauk. Karena mengatur supply untuk telur seiring meningkatnya demand ini lebih sulit.
“Butuh eksekusi penyediaan supply lebih kurang satu tahun. Termasuk juga untuk pemenuhan kebutuhan lauk dari ikan segar, karena supplynya cukup volatile,” tutupnya.***