LANGKATTERKINI.COM – Menjamurnya kegiatan usaha pertambangan yang meliputi eksplorasi, eksploitasi, pengolahan/pemurnian, pengangkutan, penjualan dan produksi berbagai jenis material galian C di wilayah Kabupaten Langkat ternyata tidak mampu mendongkrak pendapatan dari sektor pajak atau retribusi usaha tersebut ke Pemkab Langkat yang notabene pemilik wilayah.
Bahkan, dampak dari kegiatan usaha tersebut mengakibatkan kerusakan lingkungan, jalan, serta tidak mampu mendongkrak perekonomian masyarakat di sekitar usaha. Hal ini disebabkan banyak pengusaha galian C tersebut tidak memiliki sejumlah dokumen perijinan yang sah.
Pasalnya, puluhan usaha galian C yang saat ini mengeksplorasi serta mengeksploitasi kawasan sungai besar yang ada di wilayah Langkat tersebut mendapat dukungan dari oknum-oknum pemerintah provinsi serta aparat penegak hukum.
Pemerhati hukum di Kabupaten Langkat, Harianto Ginting SH menjelaskan, jika sebenarnya usaha galian C bisa membantu perekonomian masyarakat yang bermukim di sekitar usaha galian C tersebut.
Namun yang terjadi, masyarakat sekitar usaha tersebut kehidupan sosial dan tidak menikmati usaha yang ada di desa mereka. Terlebih lagi, selain merasakan dampak kerusakan lingkungan. Lahan masyarakat yang ditanami sawit serta untuk pertanian, terancam erosi. Bukan itu saja, warga masyarakat juga merasakan dampak kerusakan jalan yang signifikan.
Ironisnya, kendati banyak yang tidak memiliki dokumen perizinan resmi, namun usaha galian C di kawasan sungai dan DAS tersebut terus berkembang. Bahkan para pengusaha tersebut memanfaatkan jasa oknum-oknum APH untuk memback-up usahanya.
Sebut saja salah satu lokasi usaha galian C diduga ilegal tersebut milik Atiam yang berlokasi di Desa Paya Salid Kecamatan Sirapit Kabupaten Langkat.
Dari pengamatan di lokasi, usaha galian C milik Atiam seorang WNI keturunan Tionghoa tersebut berhasil mengeruk Sumber Daya Alam (SDA) berupa berbagai jenis material Galian C di desa tersebut.
Informasi yang berkembang di masyarakat, usaha galian C yang diduga ilegal milik Atiam tersebut bisa beroperasi karena mendapat back-up dari oknum-oknum Polri.
Salah satu oknum Polri yang diduga memback-up usaha galian C yang juga diduga ilegal tersebut dari salah satu satuan, yang dikenal masyarakat berpangkat Kelelawar 1 (Aipda) berinisial MN.
Oknum APH 1 ini juga sering diutus pemilik usaha untuk mengintimidasi warga yang keberatan serta pihak-pihak yang mengungkit legalitas usaha tersebut.
“Bukan itu aja Bang, oknum Brimob itu juga sering mengintimidasi karyawan yang bermasalah dan karyawan yang menuntut pengusaha galian C terkait permasalahan kerja yang dihadapi,” terang sumber topmetro di lokasi usaha yang wanti-wanti agar nama serta identitasnya tidak disebutkan dalam pemberitaan demi alasan keamanan.
Terpisah, pengamat hukum dari DPC Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI) Binjai-Langkat, Harianto Ginting AMd SH MH menyesalkan adanya pembiaran oknum-oknum APH seperti oknum Sat Brimob berinisial Aipda MN tersebut menjadi ‘pelindung’ lokasi usaha galian C yang diduga ilegal milik Atiam tersebut.
“Gak perlu kali lah kita bedah secara hukum terkait keberadaan seorang APH yang sengaja seolah melindungi usaha-usaha diduga ilegal seperti galian C milik Atiam tersebut. Karena sudah jelas itu bentuk penyalahgunaan kewenangan, pangkat dan jabatan, serta melecehkan profesinya sebagai anggota elit Polri. Kita juga berencana akan menyurati Komandan Sat Brimob Polda Sumut dan Kapolri terkait SOP penugasan oknum-oknum anggota Polri di usaha-usaha ilegal,” ujar pengacara yang dikenal dengan nama Bang Ginting , Senin (3/6/2024).
Sementara itu, Aipda MN yang disebut-sebut merupakan beking Atiam selaku pemilik usaha galian C ilegal di Desa Paya Salid Kecamatan Sirapit Kabupaten Langkat saat dikonfirmasi sejak Jumat (1/6/2024) hingga berita ini dikirimkan ke redaksi terkait kebenaran statusnya yang disebut-sebut sebagai beking usaha diduga ilegal tersebut, lebih memilih bungkam. (*)